Abu Nawas, sebagaimana dikisahkan oleh KH Ma’ruf Islamuddin,
memiliki istri yang amat cantik. Ia adalah kembang desa. Karenanya, berhasil
mempersuntingnya adalah karunia sekaligus ujian. Karunia sebab tak semua lelaki
sekelasnya mendapatkan istri secantik itu, dan ujian sebab ia harus menghadapi
makar dan godaan laki-laki mata keranjang di kampungnya.
Benar saja, setelah menikah dengan Abu Nawas beberapa bulan,
istrinya pulang dari pasar seraya menekuk wajah. Murung. Sang suami pun
mendekatinya seraya bertanya, “Apa yang terjadi, Dinda? Mengapa wajahmu sekecut
itu?”
Sang istri pun mengisahkan apa yang dialaminya. Katanya, di
mana pun ia berada, selalu saja ada laki-laki yang menggodanya; saat pergi
belanja ke pasar, silaturahim, ataupun keperluan di tempat lainnya. Mendengar
penuturan istrinya, Abu Nawas tak menjawab. Selepas memberikan perhatian
secukupnya, Abu Nawas segera undur diri.
Rupanya, Abu Nawas menemukan solusi untuk mengatasi
laki-laki yang menggoda istrinya. Ia pun pergi ke pasar untuk membeli ubi-ubian
dan bahan makanan lainnya. Usai berbelanja, Abu Nawas pun langsung
mempersiapkan undangan sembari memasak hidangan. Ia mengundang semua laki-laki
di kampungnya.
Sebab yang mengundang adalah Abu Nawas, dan di rumahnya ada
sosok wanita yang cantik, laki-laki di kampungnya pun berbondong-bondong
menghadiri undangan. Sesampainya di rumah Abu Nawas, dihidangkanlah makanan
dari ubia-ubian yang telah diberi pewarna; merah, hitam, coklat, putih, dan
sebagainya.
Tak perlu waktu lama, para tamu pun langsung menikmati
hidangan dengan antusias. Mereka juga berhasrat menikmati makanan dengan warna
yang berbeda. Ternyata, dari banyak warna itu, rasanya sama saja. Hingga,
mereka saling berbisik menanyakan rasa hidangan yang dimakan.
Lama mereka berada di rumah itu, dan hidangan pun hampir
habis, satu di antara mereka memberanikan diri untuk bertanya kepada Abu Nawas.
“Hai, Abu Nawas,” ucap orang itu, “kami sudah lama di sini. Namun, kau tak
sampaikan apa pun.” Lanjutnya bertanya, “Jadi, apa tujuanmu mengumpulkan kami?”
Belum dijawab, ada orang lain yang menambahkan pertanyaan,
“Terus, kenapa makanan yang kau hidangkan ini, rasaya sama semua, padahal
warnanya berbeda?”
Lepas menghirup nafas sejenak, Abu Nawas pun angkat bicara.
“Saudara-saudaraku, aku mengundang hanya agar kalian menikmati hidangan itu,”
tuturnya menerangkan, “yang kalian makan itu, tak ubahnya istri-istri kita.”
Saat Abu Nawas berhenti, sebagian orang yang sering menggoda istri Abu Nawas
pun mulai memahami maksud diundangnya mereka.
“Memang,” lanjutnya, “bentuk fisiknya beda-beda.” Pungkasnya
diiringi kepergian beberapa orang yang merasa tertipu, “Namun, mereka sama
wanitanya. ‘Rasa’nya juga sama.”(Al-Kisah)