Akhirnya, Allah mengirim untukku suami yang terbaik, sorang yang dewasa,
matang dan taat beribadah
SAYA tak ingat betul, sejak kapan saya begitu perhatian dengannya,
seorang pria lembut, mengagumkan dan telah membuat hatiku jatuh cinta. Yang
masih saya ingat, ia adalah kakak kelasku ketika masih menjadi mahasiswa di
sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, Jawa Timur. Yang jelas, tak seperti layaknya Anak Baru Gede (ABG), perjalanan
perkenalan kami tak berlama-lama. Kami segera menikah usai lulus sarjana.
Selain itu, perlu dimaklumi, saya setiap hari memamai jilbab, jadi alangkah tak
pantasnya jika menjalin hubungan dekat dalam waktu lama tanpa ada ikatan yang
halal.
Alkisah, perjalanan kisah asmara kami berjalan baik hingga ke pelaminan.
Sungguh wanita mana yang tidak bahagia menerima saat-saat seperti ini? Menikah
dengan seorang pria idaman, pasti adalah mimpi tiap wanita yang sehat akalnya.
Sayang, harapan tak semulus dengan kenyataan. Dalam perjalanan biduk
rumah tangga, tabiat buruk suamiku mulai muncul satu-persatu. Tabiat paling
utama adalah melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Entah, kapan taibat buruk itu bermula. Yang jelas, usai pernikahan
beberapa bulan, ia tiba-tiba sering melayangkan bogem nya ke bagian-bagian
tubuhku jika dia sedang marah atau merasa kurang sesuai dengan keinginannya.
“Kamu istri macam apa? plok!” demikian sambil kepalan tangannya itu
mendarat di pelipis saya.
Duh, rasahnya pedih dan sakit. Tak hanya sakit fisik, tapi sakit dari
relung hatiku paling jauh. Ah, tapi mungkin itu memang karena kesalahanku
sebagai seorang istri yang teledor, begitu perasaan hati agar bisa ridho
menerima perlakukan ini.
Hari demi hari, mulai kuperbaiki perjalanan rumah tanggaku, semata agar
kehidupan lebih baik dan aku bisa menjadi istri yang sholehah. Itu saja.
“Pyarr!” Tiba-tiba piring, gelas dan barang-barang melayang. Tak hanya
itu, kali ini bukan lagi bogem yang menghampiriku.
Pria yang pernah kukagumi dan aku kenal sendiri di kampus, bukan melalui
orang lain, kali ini menjambak rambutku dan menyeret ke kamar mandi. Di sana ia
mendorong kepalaku ke dalam baik air. Setelah lama, ia mengangkat kepalaku dan
menenggelamkan lagi.
Rasanya bingung, sedih, sakit, kecewa, semuanya campur jadi satu. “Ya
Allah ya Rabbi, syetan apa yang membuat suamiku seganas ini pada istrinya?”
Begitulah kehidupan rumah tanggaku. Di depan orang kami nampak baik, di
dalam rumah, ia seolah memperlakukan aku layaknya tahanan Guantanamo Bay,
penjara kejam yang dibangun Amerika Serikat (AS) untuk memperlakukan
saudara-saudara Muslim pasca 11 September.
Kekerasan dan siksaan (sudah tak bisa dihitung dan tak bisa saya
jelaskan di sini) berjalan hingga kelahiran anak kami yang pertama. Karena
sudah tidak tahan dengan perlakuan kasarnya, singkat cerita, pasca usia anak
kami berjalan beberapa tahun, hubungan kami tak bisa dipertahankan dan berakhi
dengan perceraian. Alhamdulillah, Allah telah menyelamatkanku dari “neraka
kecil” itu.
Barakah Pesantren
Sembari masih membawa status “janda”, saya mencoba melamar berbagai
tempat. Semua telah kucoba dan selalu hasilnya nihil. Maklum, bidang yang
kugeluti termasuk kurang umum, yakni bidang seni.
Suatu hari, aku mendapatkan informasi sebuah lembaga pendidikan di bawah
naungan sebuah pesantren di Surabaya. Dengan bismillah, kucoba melamar sebagai
tenaga pendidik bidang kesenian. “Malang tak dapat ditolak untung tak dapat
diraih,” demikian kata pepatah. Rupanya, lamaranku di terima.
Betapa senangnya. Pertama, aku gembira karena bisa mengamalkan ilmu,
kedua, gembira bekerja di bawah lembaga yang memiliki akar kuat dalam urusan
agama. Maklum, meski menutup aurat, aku wanita biasa-biasa saja, seorang dari
kampung yang semenjak kecil kurang banyak dididik ilmu agama.
Benar saja, beberapa tahun bergabung dengan lembaga ini, tiap hari dan
tiap saat, rasanya ilmu agamaku bertambah. Subhanallah, Maha Suci Engkau ya
Allah!
Sementara aku sibuk menjadi pendidik di Surabaya, anakku kutitipkan pada
neneknya di kampung. Tiap saat, usai gajian, aku pulang mengunjungi anak dan
mengirim keperluan. Begitu perjalannku beberapa tahun.Dan tak terasa, sudah
sekian lama kehidupan ini kujalani. Kira-kira hingga anakku masuk SMP.
Lama menjalani hidup sebagai janda rupanya tak mengganggu pikiranku.
Sebab, setiap kali berfikir soal jodoh atau pria, selalu teringat dalam pikiran
kekejaman mantan suamiku, yang tak lain adalah pria pilihanku sendiri. Karena
itu, tiap terpikir soal pria, secepat itu pula pikiran itu lewat begitu saja.
Hmmm rasanya, berat untuk menikah lagi. Bagaimana jika yang kuhadapi pria yang
sama seperti kemarin? Di depan ia lembut, di belakang dia seperti algojo. Duh,
ngeri!
Meski demikian, setiap malam aku selalu berdoa di hadapan Allah agar
diberi jalan terbaik dalam hidup dan tak ingin diberi cobaan lagi seperti yang
telah lewat.
“Ya Allah cukupkan cobaan ini. Berilah kesabaran, dan gantilah
kehidupanku dengan lebih baik di masa depan.”
Suatu hari, di bulan Februari, aku pulang ke kampung menaiki bus.
Perjalanan kurang lebih membutuhkan waktu 5 jam. Setengah jam bus berjalan,
tiba-tiba seseorang duduk di bangku sebelahku yang awalnya kosong.
Seperti layaknya orang dalam perjalanan, ia bertanya ini-itu. Karena
kurang tertarik, saya menjawabnya secara asal dan apa adanya. Namun saya sempat
melihat raut berubah manakala aku menjawab bekerja sebagai seorang pendidik di
lembaga pesantren. Kamipun berpisah tanpa saling mengenal.
Entah, apa yang ada dalam pikiran pria di bus itu. Rupanya, jawaban
terkhirku itu membuat ia rela mencari alamat dan tempat kos ku. Sebagai wanita
baik-baik, aku menghargainya. Meski demikian, aku tetap masih kurang tertarik
berkenalan lebih serius dengan mahluk bernama pria.
Usahanya yang gigih terus-menerus untuk berusaha menemuiku, membuatku
harus menyampaikan sesuatu padanya.
“Saya seorang janda. Banyak di luar sana orang lebih baik yang bisa Anda
dapatkan,” begitu kalimatku suatu hari ketika berusaha menemuiku.
Tapi rupanya, kata-kata itu tak membuat dia mundur untuk terus berusaha
ingin menemuiku. Singkat kata, keluarlah pernyataan jujurnya yang disampaikan
padaku.
“Bagiku bukan soal janda. Saya butuh istri dengan latar belakang agama
(Islam) yang baik. Setidaknya, aku menemukan itu padamu,” katanya.
Pernyataan ini cukup mengagetkan dan setidaknya membangunkan kesadaranku
selama ini. Ternyata dia serius ingin mencari seorang istri. Sementara aku,
masih terbawa terutama lama, KDRT yang terus menyisahkan luka.
Dengan kerendahan hati, kegalauan ini kusampaikan terus-menerus di
hadapan Allah Subhanahu Wata’ala di kala shalat, agar aku mendapatkan jalan
terbaik, pilihan Allah semata.
Dengan takdirnya, akhirnya Allah mempertemukanku dengan seorang pria
baik, seseorang yang sebelumnya belum pernah mengenal secara dekat dengan
wanita, bahkan dia seorang perjaka.
Allah mengirimku seorang perjaka baik-baik, yang kelembutannya di atas
mantan suamiku, dan ketulusannya bukan main-main telah diberikan kepadaku.
Meski hanya lulusan SMU, tetapi ilmunya di atas orang sarjana yang pernah
kutemui. Seorang yang matang dan dewasa, bertolak belakang dengan mantan
suamiku yang dahulu. Setahun kami menikah, ia ingin bertempat tinggal dekat
pesantren di mana aku mengabdi. Dia yang rajin shalat dan ibadah tak pernah
lalai di acara-acara kajian dan daurah. Kini, kami dikaruniai seorang putri
manis kesayangan kami. Oh ya, Alhamdulillah, kami berdua kini juga tinggal
bersama-sama dengan anak pertama. Dan suamiku yang kedua ini juga sayang pada
anaku yang pertama, layaknya anak sendiri. Jadi telah lengkap sudah kegembiraan
ini. “Hasbunallah wa nikmal wakil, Nikmal maula wa Nikman Nasir”(Cukuplah Allah
saja yang menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung).
Hikmah
[يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا
وَاتَّقُوا اللهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ {200
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah
kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertaqwalah
kepada Allah supaya kamu beruntung.” (QS. Ali Imran : 200)
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ بِشَيْءٍ مِنَ الْخَوْفِ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ
اْلأَمْوَالِ وَاْلأَنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit
ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah
berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 155)
Nikmat dan musibah adalah salah satu bekal hidup seorang Muslim dalam
mengarungi kehidupan di dunia. Rasulullah dalam sebuah hadits mengatakan.
"Sesungguhnya tidaklah kalian diberi sesuatu (kenikmatan) yang lebih baik
dan lebih luas daripada kesabaran." [HR. Bukhori (13/94), Muslim (2/601)]
Mudah-mudahan kisah ini bisa menjadi pelajaran bagi kita
semua.*/Sebagaimana diceritakan AL. Redaksi menerima tulisan dan kisah serupa
agar bisa memberi inspirasi dan pelajaran bagi yang lain.