Tentang bagaimana mudahnya manusia
mempercayai berita negatif yang menyangkut seseorang
Jangan
MudahTerprovokasi
Suatu
ketika Madinah diguncang berita heboh, sebuah berita besar -yang sebenarnya
merupakan fitnah- telah mendera keluarga Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Maka
berita miring itu pun akhirnya menjadi buah bibir yang tersebar dibicarakan
orang di sana-sini. Demikian hebat makar para munafiqin untuk menghancurkan
Islam, namun sungguh Allah Maha Kuasa sehingga kedok-kedok mereka terbongkar.
Maka kaum mus-limin pun tahu, bahwa apa yang selama ini tersebar di masyarakat
Madinah tentang keluarga Nabi Shalallaahu alaihi wasalam tak lebih hanya
sebagai isapan jempol, semuanya dusta.
Kisah di
atas memberikan pelajaran bagi kita, tentang bagaimana mudahnya manusia
mempercayai berita negatif yang menyangkut seseorang. Adalah merupakan watak
masyarakat awam, bahwa mereka amat mudah terprovokasi oleh orang lain. Sehingga
amat banyak manusia yang memanfaatkan titik kelemahan masyarakat ini sebagai
sarana untuk mencapai ambisi dan tujuan pribadinya.
Kaum
muslimin, adalah umat yang senantiasa dianjurkan untuk berlaku adil, tidak
mudah terprovokasi dan tidak gampang memvonis orang hanya bersandarkan kepada
berita semata, semuanya harus dilihat secara jernih dan teliti. Dan andaikan
berita itu benar, maka tetap saja tak selayaknya sesama muslim saling
menceritakan dan menye-barkan aib saudaranya. Rasulullah Shalallaahu alaihi
wasalam telah memberikan predikat "pendusta" kepada orang yang
menceritakan setiap berita yang dia dengar, "kafa bil mar'i kadziban."
Berikut
ini kami sampaikan beberapa langkah yang hendaknya dilakukan oleh setiap muslim
tatkala mendengar berita yang menyangkut seseorang. Mudah-mudahan dengan
menerapkannya, kita semua akan menjadi pribadi-pribadi yang menjunjung keadilan
dan inshaf, tidak mudah digoyang oleh isu, rumor atau pun berita-berita yang
belum jelas kebenarannya.
1.
Lihatlah Keadaan Penyampai Berita
Hal ini
berlandaskan kepada firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya,
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (QS. Al Hujurat: 6)
Dalam ayat ini Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk bertatsabbut atau tabayyun yakni mengecek kebenaran berita yang kita dengar. Dan sebelumnya tentu harus dilihat terlebih dahulu keadan si pembawa berita, apakah dia seorang yang jujur dan bertanggung-jawab atau kah seorang yang fasiq? Tabayyun terhadap berita yang disampaikan oleh seorang fasiq adalah wajib.
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti” (QS. Al Hujurat: 6)
Dalam ayat ini Allah Subhannahu wa Ta'ala memerintahkan kita untuk bertatsabbut atau tabayyun yakni mengecek kebenaran berita yang kita dengar. Dan sebelumnya tentu harus dilihat terlebih dahulu keadan si pembawa berita, apakah dia seorang yang jujur dan bertanggung-jawab atau kah seorang yang fasiq? Tabayyun terhadap berita yang disampaikan oleh seorang fasiq adalah wajib.
Maka
apabila kita mendengar berita tetang seseorang, selayaknya dilihat terlebih
dahulu orang yang menyampaikan berita tersebut. Karena bisa jadi dia sedang ada
permusuhan, sengketa, hasad, dendam atau persaingan tidak sehat dengan orang
yang dia tuduh. Dan boleh jadi juga, dia (penyampai berita) memang orang yang
ada cacat di dalam sisi agama dan amanahnya, sehingga beritanya layak untuk di
tolak.
Berkata Imam as Sakhawi, "Ibnu Abdil Barr berpendapat, bahwa ahli ilmu tidak menerima jarh (berita negatif), kecuali dengan bukti yang jelas, kalau sekiranya dalam kasus itu ada permusuhan maka selayaknya berita tersebut tidak diterima."
Berkata Imam as Sakhawi, "Ibnu Abdil Barr berpendapat, bahwa ahli ilmu tidak menerima jarh (berita negatif), kecuali dengan bukti yang jelas, kalau sekiranya dalam kasus itu ada permusuhan maka selayaknya berita tersebut tidak diterima."
2.
Mengecek Kebenaran Berita
Setelah
kita melihat keadaan pembawa berita, maka langkah selanjutnya adalah melihat
kebenaran berita yang disampaikan (tabayyun).
Mengomentari firman Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam ayat enam surat al Hujurat, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syanqithi berkata," Ayat dari surat al Hujurat ini menunjukkan dua permasalahan:
Mengomentari firman Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam ayat enam surat al Hujurat, Syaikh Muhammad al-Amin asy-Syanqithi berkata," Ayat dari surat al Hujurat ini menunjukkan dua permasalahan:
Pertama,
Bahwa apabila seorang fasiq membawa berita, maka boleh untuk diketahui
kebenarannya, apakah berita yang disampaikan si fasiq itu benar atau dusta,
maka wajib untuk tatsabbut (dicek).
Kedua, Berdasarkan ini ahli ilmu ushul berpendapat tentang diterima-nya berita yang adil, karena firman Allah, "Jika datang kepadamu seorang fasiq dengan membawa berita, maka telitilah" mengisyaratkan kepada berita yang disampaikan. Maksud saya pengertian balik (mafhum mukhalafah) dari ayat ini adalah kalau yang datang membawa berita bukan orang fasiq, namun seorang yang adil (terpercaya), maka tidak harus diteliti beritanya.
Kedua, Berdasarkan ini ahli ilmu ushul berpendapat tentang diterima-nya berita yang adil, karena firman Allah, "Jika datang kepadamu seorang fasiq dengan membawa berita, maka telitilah" mengisyaratkan kepada berita yang disampaikan. Maksud saya pengertian balik (mafhum mukhalafah) dari ayat ini adalah kalau yang datang membawa berita bukan orang fasiq, namun seorang yang adil (terpercaya), maka tidak harus diteliti beritanya.
Demikian
pula di dalam periwayatan atau menukil ilmu, maka harus dibedakan antara rawi
yang bagus hafalannya dengan yang buruk hafalannya, yang bagus pemahamannya
dengan yang tidak, yang bagus ta'bir (ungkapan bahasanya) dengan yang rendah,
apa lagi dalam hal kejujuran dan amanahnya.
Karena
suatu berita apabila disampaikan oleh orang yang lemah ingatannya atau buruk
pemahamannya, atau pun tidak bagus ungkapannya, maka berita itu menjadi lemah.
Oleh karenanya berita tersebut musti diteliti, karena bisa jadi berita tersebut
menjadi cacat dan tidak akurat, entah itu dengan menyebutkan spesifik dari yang
umum atau menyebut terperinci dari yang global. Atau dia mengungkap-kan dengan
pemahamannya yang keliru sehingga berbeda dengan maksud yang sebenarnya, dan
bahkan menyebutkan kalimat yang tidak pernah diucapkan oleh nara sumber atau
pun mengurangi sebagian kalimat yang sebenarnya penting, namun dianggap tidak
penting oleh penyampai berita karena salah pemahamannya. Demikian pula mungkin
si pembawa berita salah di dalam mengungkapkan dan memilih kata, sehingga
maksudnya menjadi berbeda dengan maksud pengucapnya. Dan yang lebih parah kalau
seluruh hal tersebut terdapat di dalam diri seseorang, kabar yang disampaikan
tentu menjadi berantakan tidak karuan.
Maka
terkadang terjadi di masa ini seseorang membawakan fatwa seorang ulama yang
berbeda dengan fatwa sebenarnya, yang disebabkan karena lemahnya hafalan atau
kurangnya pemahaman, kadang pula karena salah dalam mengungkapkan, dan
kenyataan membuktikan itu semua.
Demikian
pula kabar-kabar yang menyangkut pribadi seseorang atau sebuah lembaga yang
sama sekali tidak memiliki landasan yang benar. Kesemua itu tidak lain karena
sebab-sebab yang telah tersebut di atas, ini jika memang pembawa berita kita anggap
sebagai orang yang jujur dan terbebas dari segala tuduhan dusta.
Imam al
Hasan al Bashri berkata, "Seorang mukmin adalah abstain (diam) sehingga
dia bertabayyun."
Yang perlu ditekankan dalam permasalahan ini adalah barang siapa yang diketahui sebagai seorang yang jujur, bagus agamanya, bagus hafalan dan pemahamannya, bagus di dalam ungkapan serta penyampaiannya, maka kita terima beritanya tanpa harus meneliti terlebih dahulu. Jika ada cacat dalam salah satu sifat-sifat di atas, maka barulah tatsabbut terhadap berita itu dilakukan, khususnya jika menyangkut permasalahan yang urgen.
Yang perlu ditekankan dalam permasalahan ini adalah barang siapa yang diketahui sebagai seorang yang jujur, bagus agamanya, bagus hafalan dan pemahamannya, bagus di dalam ungkapan serta penyampaiannya, maka kita terima beritanya tanpa harus meneliti terlebih dahulu. Jika ada cacat dalam salah satu sifat-sifat di atas, maka barulah tatsabbut terhadap berita itu dilakukan, khususnya jika menyangkut permasalahan yang urgen.
Maka
ketika kita menyampaikan berita, berupa fatwa ulama, ucapan yang bersumber dari
seseorang atau dari sebuah lembaga, yang paling utama adalah semaksimal mungkin
menyampaikannya berdasarkan apa adanya teks atau kalimat secara utuh, sebagai
upaya untuk menjauhi terjadi-nya hal-hal yang tidak diinginkan.
Semua
yang tersebut di atas telah diisyaratkan melalui sabda Nabi Shalallaahu alaihi
wasalam sebagai berikut, artinya:
"Semoga Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengarkan ucapanku lalu menghafal dan memahaminya, menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya. Berapa banyak pembawa ilmu yang tidak faham terhadapnya, dan berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada yang lebih faham daripada dirinya." (HR.Ahmad dalam al Musnad 4/87)
"Semoga Allah memberikan cahaya kepada seorang hamba yang mendengarkan ucapanku lalu menghafal dan memahaminya, menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya. Berapa banyak pembawa ilmu yang tidak faham terhadapnya, dan berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada yang lebih faham daripada dirinya." (HR.Ahmad dalam al Musnad 4/87)
Yang
dapat diambil pelajaran dari hadits di atas adalah:
- Sabda Nabi, "Lalu dia menghafal dan memahaminya" mengisyaratkan kepada hafalan yang kuat dan pemahaman yang benar (lurus).
- Sabda Nabi, "Dan menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya," mengisyaratkan pada penyampaian berita sesuai dengan bunyi nash (teks).
- Sabda Nabi, "Berapa banyak pem-bawa ilmu namun tidak faham terhadapnya," menunjukkan kepada orang yang lemah pemahamannya.
- Sabda Nabi, " Berapa banyak orang yang menyampaikan ilmu kepada yang lebih faham dari pada dirinya," menunjukkan perbedaan tingkatan pemahaman, dan bahwa orang yang mendengarkan berita bisa jadi mampu mengambil kesimpulan berupa sesuatu yang tidak pernah disimpulkan oleh perawi.
Inilah
pesan yang simpel tapi padat (jawami' al kalam) yang disampaikan oleh
Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam kepada kita semua.
3.
Menolak Ghibah
Telah
bersabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, artinya:
"Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang digun-jingkan maka merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari api neraka." (HR. Ahmad, lihat shahih al jami' No.6240)
Barang siapa yang mendengarkan gunjingan (ghibah) serta ridha atau senang terhadapnya, maka dia telah ikut melakukan dosa, sebagaimana juga orang yang membela kehormatan saudaranya yang digunjing, maka dia juga mendapatkan pahala yang besar, "merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari neraka."
"Barang siapa yang membela kehormatan saudaranya yang sedang digun-jingkan maka merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari api neraka." (HR. Ahmad, lihat shahih al jami' No.6240)
Barang siapa yang mendengarkan gunjingan (ghibah) serta ridha atau senang terhadapnya, maka dia telah ikut melakukan dosa, sebagaimana juga orang yang membela kehormatan saudaranya yang digunjing, maka dia juga mendapatkan pahala yang besar, "merupakan hak Allah untuk membebaskannya dari neraka."
Diriwayatkan
bahwa Ibrahim bin Adham mengundang orang-orang dalam sebuah jamuan. Tatkala
mereka duduk di hadapan hidangan, mereka justru asyik membicarakan seseorang.
Maka berkatalah Ibrahim, "Sesungguhnya orang-orang sebelum kita, mereka
memakan roti kemudian baru makan daging, namun kalian kini memulai dengan makan
daging (sindiran untuk menggunjing, pen) sebelum makan roti."
Maka
selayaknya setiap muslim bersikap cemburu terhadap agamanya, yakni dengan
bersikap tidak rela jika ada seseorang yang melakukan ghibah dihadapannya.
Karena kalau sampai rela, maka dia telah bersekutu dalam dosa dengan si
penggunjing, kalau sekiranya tidak mampu melakukan pembelaan atau
menghentikannya maka sebaiknya meninggalkan tempat tersebut.
Demikian
pula harus berhati-hati dari melakukan ghibah dengan alasan untuk meluruskan
orang lain dan maslahat dakwah. Sebab terkadang ini merupakan tipu daya setan
yang sering menjerumuskan manusia, dimana ghibah yang mereka lakukan mereka
kira sebagai bentuk maslahat atau pun nasihat. Kalau toh itu benar-benar
sebagai nasihat, maka juga harus diperhatikan penerapannya, sebab terkadang hal
tersebut menjadi pemicu bagi terjadinya sesuatu yang tidak pernah diprediksikan
sebelumnya.
Akhirnya
marilah kita pegang sebuah pesan yang merupakan pesan Rasul kepada kita yakni
barang siapa beriman kepada Allah, maka hendaklah berkata yang baik atau diam.
Apabila kita tidak mampu berkata yang baik lagi benar, maka diam adalah lebih
baik bagi kita.
Wallahu a'lam bish showab.